Minggu, 19 Mei 2013

3 KERAJAAN BESAR (sejarah peradaban islam)

Pembahasan
A.  Latar Belakang
Setelah Dinasti Abbassiyah di Bagdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol yang terus berekpansi terhadap kekuasaan Islam, hingga muncullah tiga kerajaan Islam sebagai kekuatan baru Islam yaitu kerajaan Safawiyah di Persia, Turki Usmani di Turki dan Mughol di India. Selanjutnya ketiga kerajaan Islam itu melanjutkan kekuasaan dan perpolitikan Islam.
B.  Sejarah Kerajaan Safawi, Usmani dan Mughol
1.      Kerajaan Safawi
a.       Asal Usul Dinasti Safawiyah
Dinasti Safawiyah berkuasa antara tahun 1502-1722 M. Awalnya kerajaan Safawiyah berasal dari sebuah gerakan Tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan.[1] Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, di dirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani.
Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi itu harus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan. Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat yang dipimpin Safi Al-Din ini semakin penting, terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri di luar Ardabil Safi Al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”[2]
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah.
Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud kontretnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat itu baru ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu (domba putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.[3]
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia.

B. Kerajaan Safawi di Persia
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu, membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal, sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK Koyunlu. AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan dinasti Safawi.
Kepemimpinan gerakan Safawi, selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria dan Anatolia.[4] Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah).
Di bawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Sharur, dekat Nakhehivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi.[5] Ia disebut juga Ismail I.
Ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki Usmani. Namun Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga sangat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan Turki Usmani terjadi pada tahun 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan Organisasi militer kerajaan Usmani, dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan, malah Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya.[6]
Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya kehidupan Ismail I berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak negative bagi kerajaan Safawi.
Rasa permusuhan dengan kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail. Peperangan-peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada zaman pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M). Pada masa tiga raja tersebut, kerajaan Safawi dalam keadaan lemah.

C. Masa Kejayaan Kerajaan Safawi
Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I, naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588 sampai dengan 1628 M. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi ialah:
1.    Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi.
2.    Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani. Untuk mewujudkan perjanjian ini, Abbas I terpaksa harus menyerahkan sebagian wilayah-wilayahnya, dan perjanjian-perjanjian yang sudah disepakati.
Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Safawi kuat kembali. Setelah itu, Abbas I mulai memusatkan perhatiannya ke luar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Pada tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana, ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali wilayah kekuasaanya dari Turki Usmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama sekali. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaan kerajaan Usmani itu. Pada tahun 1602 M, di saat Turki Usmani berada dibawah Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605-1606 M. selanjutnya, pada tahun 1622 M pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gurmun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.[7]
Secara politik, ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.
Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik. Di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Bidang Ekonomi
Stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun di ubah menjadi Bandar Abbas.
2.    Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
3.    Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil mencipatakan Isfahan, ibu kota kerajaan, menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut, berdiri bangunan-bangunan besar lagi indah seperti masjid-masjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun, kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang di tata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.[8]
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan mesjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M.
Demikianlah, puncak kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Safawi. Setelah itu, kerajaan ini mulai mengalami gerak menurun. Kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan militer. Walaupun tidak setaraf dengan kemajuan Islam di masa klasik, kerajaan ini telah memberikan konstribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan gedung-gedung bersejarah.

D. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi
Sepeninggal Abbas I kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain (1694-1722), Tahmsap II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). pada masa raja-raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran.
Safi Mirza cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifat pencemburunya. Kemajuan yang pernah dicapai oleh Abbas I segera menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah Afghanistan) lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Meskipun demikian, dengan bantuan wazir-wazirnya, pada masa kota Qandahar dapat direbut kembali. Sebagaimana Abbas II, sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertidak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Pengganti sulaiman ini memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.[9]
Salah seorang putra Husein, bernama Tahmsap II, dengan dukungan penuh suku Qazar dan Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Pada tahun 1726 M Tahmsap II bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian, dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M Tahmsap II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmsap II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya, 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan dinasti Safawi di Persia.[10]
Diantara sebab-sebab kemunduran kehancuran kerajaan Safawi ialah:
1.    Konflik berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Bagi kerajaan Usmani, berdirinya kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya.
2.    Dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut.
3.    Karena pasukan  ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash.
4.    Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.

2.      Kerajaan Usmani
a.       Sejarah Berdirinya Kerajaan Usmani
Pendiri kerajaan Usmani adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah negeri Cina. Setelah tiga abad mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh. Di Asia tenggara mereka mendapat tekanan serangan Mongol selanjutnya melarikan diri ke daerah Barat, saudara mereka orang-orang Turki Seljuk, daratan tinggi Asia Kecil. Pimpinan Erthogrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alaudin II. Kemudian Sultan Alaudin II mendapat kemenangan.
Pada tahun 1289 M Ertoghrul meninggal dunia kemudian Sultan Alauddin menunjuk cucunya Usman sebagai penguasa wilayah Byzantium dan akhirnya Usman memerintah kerajaan ( 1290 – 1326 M) setelah Sultan Alauddin wafat. Sehingga terbukalah Usman untuk memiliki menuju tingkat yang paling tinggi dengan naiknya Usman menggantikan Sultan Alauddin maka berakhirlah kerajaan Saljuk  dan berdirilah kerajaan Usman dan Usman mengumumkan dirinya sebagai  Padisyah Al Usman (raja besar keluarga Usman).[11]
Nama kerajaan Usman diambil dari dan dibangsakan kepada nenek moyang meraka yang pertama, Sultan Usmani ibn Sauji ibn Ertoghrol ibn Sulaiman ibn Kia Alp, kepala kabilah Kab di Asia Tengah.

b.      Sultan yang memerintah di Turki Usmani
Kerajaan Usmani berkuasa sekitar 625 tahun (1299-1924 M). Tidak kurang dari 38-40 Sultan yang memerintah kerjaan tersebut.antara lain sebagai berikut:

1.      Sultan Urkhan (726-761 H atau 1326-1359 M).
Utsman wafat dan digantikan anaknya Urkhan. Salah satu usaha Urkhan dalam negeri saat memimpin kerajaan yaitu mendirikan pabrik mata uang. Dan contoh pada usaha luar negerinya adalah dengan mengirimkan pasukan tentara ke Byzantium, sehingga dapat menaklukan Azmir (Smirna) tahun 1327 M. Thawasyanli (1330 M), Iskandar (1338 M), Ankara (1354 M), dan Gallipoli (1356 M) yang merupakan bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki Usmani. Pada periode ini tentara Islam masuk Eropa karena Orkhan berhasil membentuk tiga pasukan tentara utamanya yang terdiri dari Sipahi (tentara Regular), Hazab (tentara Ireguler), dan tentara Jenisari yang direkrut dari umur dua belas tahun.
2.      Sultan Murad I (761-789 H atau 1359-1389 M).
Sultan Murad I menggantikan ayahnya Urkhan. Ia melakukan perluasan daerah ke benua Eropa dan dapat menaklukan Andrianopel (1263 M) kemudian dijadikan sebagai ibukota. Dengan jatuhnya Andrianopel, kerajaan Utsmani dapat mengepung kerajaan Byzantium dari segi penjuru sehingga kerajaan Byzantium mengecil dan tidak dapat berhubungan dengan kerajaan Kristen lainnya di Eropa. Saat itu pula kerajaan Utsmani mendapat serangan dari bangsa-bangsa Slavia seperti Servia, Bulgaria dan kerajaan Hongaryah (Magyar) yang bergabung menjadi satu. Dalam pertempuran di Kawassa (1389 M), tentara Slavia kalah dan raja Servia mati tebunuh.
3.      Sultan Bayazid I
Usaha-usaha dalam negeri yang dilakukan Sultan Bayazid yakni senantiasa mendidik kader-kader militan yang akan diserahi jabatan-jabatan tinggi dalam ketentaraan maupun dalam pemerintahan. Semasa pemerintahannya, ia dapat menaklukan Saloniki dan tanah Semenanjung Morea, dan usaha luar negeri yang ia lakukan dengan berhasil membawa kemenangan dalam pertempuran di Nivopolis tahun 1369 M yang berhadapan dengan pasukan Kristen Magyar dan Slavia dibawah pimpinan raja Hongaria Sijisman. Serta mengepung kota Konstatinopel, tetapi terhalang oleh datangnya bangsa Mongol Tartar pimpinan Timur Lenk meyerang Asia Barat hingga Asia Kecil . Bayazid bersama puteranya Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M.
4.      Sultan Muhammad I (1403-1421 M)
Sultan Muhammad I adalah putera Bayazid yang bungsu berhasil megatasi kekacauan pada masa Bayazid dengan menyatukan daulat-daulatnya, mengembalikan kekuatan dan kekuasaan sebagaimana semula dengan waktu 10 tahun baru berhasil dan ia mengadakan perjanjian damai Byazantium dan dengan Republik Venesia.


5.      Sultan Murad II (1421-1451 M)
Sultan Murad II membalas dendam terhadap Byazantium dengan mengadakan pengepungan kota konstantinopel beberapa minggu. Bangsa-bangsa Servia Bulgaria, Bosnia, Albania, Rumania, dan Hongaria bersatu dibawah pimpinan raja Hunyody dari Honngaria melawan pasukan Turki Utsmani di dekat Belgrado.
Pasukan Turki mengalami kekalahan tahun 1422 M. Selanjutnya tahun 1443 M dengan menghadapi gabungan pasukan ditambah pasukan Salib. Dan  sultan Murad II mundur dan meminta perjanjian di Zegedin tahun 1444M yang isinya:
a.       Servia mendapat kemerdekaan kembali.
b.      Rumania bergabung dengan Hongaria.
c.       Diadakannya gencatan senjata selama 10 tahun.
Pimpinan Hunyody melanggar perjanjian, yaitu mengadakan peneyerbuan mendadak ke wilayah Turki sampai laut hitam. Murad II memanggul senjata dengan dikawal 40.000 pasukan menyerbu Hongaria. Dan akhirnya Turki menang hingga Servia dan Bosnia menjadi wilayah kekuasaannya dan Turki Utsmani kembali tegak di Balkan.
6.      Sultan Muhammad II ( 1451-1484 M)
Turki Utsmani mencapai kejayaan pada masa Sultan Muhammad II yang s        ering disebut Muhammad al-Fatih, ia dapat mengalahkan Byzantium dan menaklukan Konstantinopel  pada tahun 1453 M. Sehingga dapat melepaskan umat islam selama 800 tahun dari keadaan sebaliknya dan membangkitkan kembali semangatnya.
7.      Sultan Salim I (1512-1520 M)
Usaha yang dilakukan Sultan salim adalah untuk menaklukan Persia,Syaria, dan dinasti malik di Mesir. Sultan Salim pernah memita kepada khalifah  Abbasiyah di Mesir agar menyerahkan kekhalifahan kepadanya, ketika ia menaklukan dinasti Malik di mesir.

8.      Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566 M)
Usahanya adalah melanjutkan usaha Sultan Salim I denngan mengerahkan ekspansinya keseluruh wilayah yang berada di sekitar Turki Utsmani dan berhasil menundukkan Irak Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapest dan Yaman.Setelah Sultan Sulaiman meninggal dunia,terjadilah perebutan kekuasaan antara putera-puteranya dan menyebabkan kemundurannya.
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Utsmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat yang diikuti dengan kemajuan berbagai bidang yakni sebagai berikut:
a.       Bidang militer dan pemerintahan
Kekuatan militer kerajaan mulai terorganisasi dengan baik pada masa pemerintahan Sultan Murad I selanjutnya Orkhan mengadakan perombakan dalam tubuh organisasi militer dalam bentuk mutasi personil pimpinan dan perombakan dalam keanggotaan. Non Turki dimasukkan sebagai anggota dan berhasil dengan terbentukknya kelompok militer baru.
b.      Bidang ilmu penegtahuan dan budaya
Turki Utsmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran. Namun, mereka banyak kiprah dan pembangunan yang indah seperti masjid jami’ Sultan Muhammad al-Fatih.
c.       Bidang Keagamaan
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam sosial politik. Masyarakat digolongkan berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan syari’at sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. [12]


3. Masa Ekspansi dan Kejayaan
            Penaklukan Konstatinopel oleh Usmani pada 29 Mei 1453 saat dipimpin oleh Muhammad II atau yang dalam sejarah sering dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih, mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa.
            Pada masa kesultanan Usmani memasuki periode penaklukan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara. Pada saat itulah kehancuran Bizantium yang sudah lama berkuasa dan Muhammad al-fatih juga berhasil menaklukan Venish, Italy, dan Cremia yang dikenal dengan Konstatinopel II.

3.    Kerajaan Mughal
a.       Asal Usul Kerajaan Mughal
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan safawi. Di antara kerajaan besar islam tersebut, kerajaan munghal adalah kerajaan yang termuda. Penaklukan wilayah India dilakukan oleh pasukan Umayyah yang di pimpin oleh panglima Muhammad ibn Qasim.
Kerajaan Mughal didirikan oleh Zainuddin Muhammad Babur (1482-1530 M). Seorang keturunan Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza adalah penguasa Farghana, sedangkan ibunya keturunan Jenghis Khan[13].
Ia berhasil munguasai Punjab dan berhasil menundukkan Delhi, sejak saat itu ia memproklamirkan berdirinya kerajaan Mughal. Proklamasi 1526 M yang dikumandangkan Babur mendapat tantangan dari Rajput dan Rana Sanga didukung oleh para kepala suku India tengah dan umat Islam setempat yang belum tunduk pada penguasa yang baru itu, sehingga ia harus berhadapan langsung dengan dua kekuatan sekaligus. Tantangan tersebut dihadapi Babur pada tanggal 16 Maret 1527 M di Khanus dekat Agra. Babur memperoleh kemenangan dan Rajput jatuh ke dalam kekuasaannya.
Penguasa Mughal setelah Babur adalah Nashiruddin Humayun atau lebih dikenal dengan Humayun (1530-1540 dan 1555-1556 M), puteranya sendiri. Sepanjang pemerintahanya tidak stabil, karna banyak terjadi perlawanan dari musuh-musuhnya.Pada tahun 1540 M terjadi pertempuran dengan Sher Khan di Kanauj. Dalam pentempuran ini Humayun mengalami kekalahan. Humayun melarikan diri ke Kandahar dan selanjutnyake Persia. Di persia ia menyusun kembali tentaranya. Kemudian, ia menyerang musuh-musuhnya dengan bantuan raja Persia, Tahmasp. Hamayun dapat mengalahkan Sher Khan Shah setelah hampir 15 tahun berkelana meninggalkan Delhi. Pada tahun 1555 M ia kembali ke India dan menduduki tahta mughal. Pada 1556 M ia Humayun meninggal dunia.
b.      Perkembangan dan Kejayaan Kerajaan Mughal
Masa kejayaan kerajaan Mughal dimulai pada pemerintahan Akbar  (1556-1506 M), Akbar adalah penguasa diktator. Ia juga menerapkan politik sulakhul (toleransi universal). Dengan politik ini semua rakyat India di pandang sama. Kemajuan yang dicapai Akbar dapat dipertahankan oleh Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1658-1707 M).[14] Setelah itu, kemajuaan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.
Akbar mengganti ayahnya pada saat usia 14 tahun, sehingga urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khahan. Pada masa pemerintahanya, Akbar melancarkan serangan untuk memerangi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang berkuasa di Punjab. Pemberontakan lain dilakukan oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pemberontakan tersebut disambut oleh Bairam Khan sehingga terjadi peperangan dasyat, yang disebut panipat 2 tahun 1556 M. Himu dapat dikalahkan dan ditangkap kemudian diekskusi. Dengan demikian, Agra dan Kwalior dapat dikuasai penuh.
Setelah Akbar dewasa, ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran syi’ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M.
Setelah itu masa kejayaan kerajaan Mughal berhasil dipertahankan oleh putra beliau yaitu Jehangir yang memerintah selama 23 tahun (1605-1628 M). Namun Jehangir adalah penganut Ahlussunah Wal Jamaah, sehingga Din-i-Illahi yang dibentuk ayahnya menjadi hilang pengaruhnya.[15]
Sepeninggalan Jehangir pucuk kekuasaan kerajaan Mughal di pegang oleh Sheh Jehan yang memerintah Mughal selam 30 tahun (1628-1658 M). Pada masa pemerintahanya banyak muncul pemberontakan dan perselisihan dalam internal keluarga istana. Namun semua itu dapat diatasi oleh beliau, bahkan beliau berhasil memperluas kekuasaanya Hyderabat, Maratha, dan Kerajaan Hindu lain yang belum tunduk kepada pemerintahan Mughal. Keberhasilan  itu tidak bias lepas dari peran Aurangzeb, putera ketiga dari Sheh Jehan.
Pengganti Sheh Jehan yaitu Aurangzeb, beliau berhasil menduduki tahta kerajaan setelah berhasil menyingkirkan para pesaingnya (saudaranya). Pada masanya kebesaran Mughal mulai menggema kembali, dan kebesaran namanya-pun disejajarkan dengan pendahulunya dulu, yaitu Akbar.
Adapun usaha-usaha Aurangzeb dalam memajukan kerajaan Mughal diantaranya menghapuskan pajak, menurunkan bahan pangan dan memberantas korupsi, kemudian ia membentuk peradilan yang berlaku  di India yang dinamakan fatwa alamgiri sampai akhirnya meninggal pada tahun 1707 M. Selama satu setengah abad, India di bawah Dinasti Mughal menjadi salah satu negara adikuasa. Ia menguasai perekonomian dunia dengan jaringan pemasaran barang-barangnya yang mencapai Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Cina. Selain itu, India juga memiliki pertahanan militer yang tangguh yang sukar ditaklukkan dan kebudayaan yang tinggi.
Dengan besarnya nama kerajaan Mughal, banyak sekali para sejarawan yang mengkaji tentang kerajaan ini. Dan pada masa itu telah  muncul seorang sejarawan yang bernama Abu Fadl dengan karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan figure pemimpinnya. Sedangkan karya seni yang dapat dinikmati sampai sekarang dan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Shah jehan dibangun Masjid Berlapis mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi dan Istana Indah di Lahore.


c.       Kemajuan yang dicapai Kerajaan Mughal     
1.      Bidang Politik dan Administrasi Pemerintahan
1)      Perluasan wilayah. Ia berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar, dan Asirgah. dan konsolidasi kekuatan. Usaha ini berlangsung hingga masa pemerintahan Aurangzeb.
2)       Menjalankan roda pemerintahan secara, pemerintahan militeristik.
3)      Akbar menerapkan politik toleransi universal (sulakhul). Dengan politik ini, semua rakyat India dipandang sama. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan etnis dan agama. Politik ini dinilai sebagai model toleransi yang pernah dipraktekkan oleh penguasa Islam.

2.      Bidang Ekonomi
1)      Terbentuknya sistem pemberian pinjaman bagi usaha pertanian.
2)      Adanya sistem pemerintahan lokal yang digunakan untuk mengumpulkan hasil pertanian dan melindungi petani.
3)      Sistem pengumpulan pajak yang diberlakukan pada beberapa propinsi utama pada imperium ini. Perpajakan dikelola sesuai dengan system zabt.
4)      Perdagangan dan pengolahan industri pertanian mulai berkembang. Pada asa Akbar konsesi perdagangan diberikan kepada The British East India Company (EIC) -Perusahaan Inggris-India Timur- untuk menjalankan usaha perdagangan di India sejak tahun 1600. Mereka mengekspor katun dan busa sutera India, bahan baku sutera, sendawa, nila dan rempah dan mengimpor perak dan jenis logam lainnya dalam jumlah yang besar


3.      Bidang Agama
1)      Pada masa Akbar, perkembangan agama Islam di Kerajaan Mughal mencapai suatu fase yang menarik, di mana pada masa itu Akbar memproklamasikan sebuah cara baru dalam beragama, yaitu konsep Din-i-Ilahi
2)      Perbedaan kasta di India membawa keuntungan terhadap pengembangan Islam, seperti pada daerah Benggal, Islam langsung disambut dengan tangan terbuka oleh penduduk terutama dari kasta rendah yang merasa disia-siakan dan dikutuk oleh golongan Arya Hindu yang angkuh.
3)      Berkembangnya aliran keagamaan Islam di India. Sebelum dinasti Mughal, muslim India adalah penganut Sunni fanatik. Tetapi penguasa Mughal memberi tempat bagi Syi’ah untuk mengembangkan pengaruhnya.
4)      Pada masa ini juga dibentuk sejumlah badan keagamaan berdasarkan persekutuan terhadap mazhab hukum, tariqat Sufi, persekutuan terhadap ajaran Syaikh, ulama, dan wali individual. Mereka terdiri dari warga Sunni dan Syi’i.

4.      Bidang Seni dan Budaya
1)      Munculnya beberapa karya sastra tinggi seperti Padmavat yang mengandung pesan kebajikan manusia gubahan Muhammad Jayazi, seorang penyair istana. Abu Fadhl menulis Akbar Nameh dan Aini Akbari yang berisi sejarah Mughal dan pemimpinnya.
2)       Kerajaan Mughal termasuk sukses dalam bidang arsitektur. Taj mahal di Agra merupakan puncak karya arsitektur pada masanya, diikuti oleh Istana Fatpur Sikri peninggalan Akbar dan Mesjid Raya Delhi di Lahore. Di kota Delhi Lama (Old Delhi), lokasi bekas pusat Kerajaan Mughal, terdapat menara Qutub Minar (1199), Masjid Jami Quwwatul Islam (1197), makam Iltutmish (1235), benteng Alai Darwaza (1305), Masjid Khirki (1375), makam Nashirudin Humayun, raja Mughal ke-2 (1530-1555). Di kota Hyderabad, terdapat empat menara benteng Char Minar (1591). Di kota Jaunpur, berdiri tegak Masjid Jami Atala (1405).
3)      Taman-taman kreasi Moghul menonjolkan gaya campuran yang harmonis antara Asia Tengah, Persia, Timur Tengah, dan lokal.[16]


C.  Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi, Usmani dan Mughal
1.      Kerajaan Safawi
Sepeninggalan Abbas I kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja berturut-turut, yaitu:
a.       Safi Mirza (1628-1642) M
b.      Abbas II (1642-1667) M
c.       Sulaiman (1667-1694) M
d.      Husain (1694-1722) M
e.       Tahmasp II  (1722-1732) M
f.       Abbas III (1733-1736) M
            Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memerlihatkan kemunduran yang pada akhirnya membawa kepada kehancuran.[17]
           
Sebab-sebab mundurnya kerajaan Safawi, antara lain:
1.      Pemimpin yang lemah.
2.      Konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani yang beraliran Syiah.
3.      Dekadensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan Safawi.
4.      Pasukan ghulam yang di bentuk oleh raja Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi Qizilbash.
5.      Sering terjadinya konflik di dalam kerajaan itu sendiri.[18]


2.      Kemunduran Kerajaan Usmani
            Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566) M, kerajaan Turki Usmani mulai mengalami fase kemunduranya. Akan tetapi, sebagai kerajaan yang besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Keraajaan ini mengalami masa kehancuran pada abad ke-19 M.
            Ada pun faktor yang menyebabkan kerajaan ini hancur, yaitu:
1.      Wilayah kekuasaan yang sangat luas
Administrasi pemerintahan bagi suatu negara yang sangat luas wilayahnya sangat rumit dan kompleks, sementara administrasi pemerintahan kerajaan Usmani tidak beres. Dipihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas, sehingga mereka terlibat perang terus-menerus dengan berbagai bangsa.[19]
2.      Heterogenitas penduduk.
Sebagai kerajaan yang besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, dan wilayah yang luas itu dikuasai oleh penduduk yang sangat beragam baik dari segi agama, ras, etnis, adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beragam dan tersebar diwilayah yang luas diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, kerajaan Usmani hanya akan menanggung beban yang berat akibat heterogenisasi. Perbedaan bangsa dan agama sering kali melatar belakangi terjadinya pemberontakan dan peperangan.[20]
3.      Kelemahan para penguasa.
4.      Budaya pungli.
5.      Pemberontakan tentara Jenissari.
6.      Merosotnya ekonomi.
7.      Terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi. Hal ini dikarenakan kerajaan Usmani kurang berhasil dalam pengembangan ilmu dan teknologi, dan hanya mementingkan pengembangan kekuataan militer.

3.      Kemunduran Kerajaan Mughal
            Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjutnya Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Pada masa kepemimpinan raja Bahadur Syah tahun 1858 kerajaan ini mulai mengalami kemerosotan. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India Tengah, Sikh di belahan utara dan islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam.
            Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858, yaitu:
1.      Kurang tegasnya raja  yang memimpin kerajaan Mughal.[21]
2.      Terjadinya stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer baik untuk angkatan darat maupun angkatan laut.
3.      Adanya kemerosotan moral dan kehiupan yang mewah di kalangan elit politik.
4.      Kepemimpinan Aurangzeb yang terlalu kasar sehingga konflik antar agama sangat sukar di atasi oleh raja-raja sesudahnya.
5.      Semua pewaris tahta kerajaan pada masa akhirnya adalah orang yang lemah pada bidang kepemipinan.[22]



[1] Drs.SamsulMunir Amin, MA.Sejarah Peradaban Islam.Amzah.Jakarta:2010.hlm.187.
[2] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981, cetakan keempat), hlm. 60
[3] P.M. Holt, dkk, (ed), The Cambridge History of Islam, vol. I A,(London:Cambridge University Press, 1970), hlm 396.

[4] Ibid., hlm. 397-398.
[5] Ibid., hlm. 398.
[6] Hassan Ibrahim Hassan, op, cit., hlm 337.
[7] Ibid., hlm. 503-504.
[8] Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, vol. III, (Chicago: The University of Chicago Press, 1981), hlm. 40.
[9] Hamka, Sejarah Umat Islam, III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 71-73.
[10] Ibid., hlm. 428-429.

       [11] Badri Yatim, Sejarah  Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1993. hlm 129
       [12] Fatah Syukur, Sejarah  Peradaban Islam, PT. Pustaka Rizki Pustaka, 2009, hlm.138
[13] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban islam, (Semarang :  PT Pustaka Rizki Putra, 2009), hal 143.
[14]  Ibid , 143
[15]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Pesada, 2011), hlm 149-150.
[17] Dr.Badri Yatim, M.A,Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamyah II), (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007), edisi ke 9,hlm.156.
[18] Ibid;hlm.158-159.
[19] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban islam. (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010) hlm. 208.
[20] Dr. Badri Yatim, M.A. op,cit; hlm. 167.
[21] Dedi Supriyadi, M.Ag. Sejarah Peradabaan Islam. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm.262.
[22] Dr.Badri Yatim, M.A. op,cit:hlm.163.